Tentang Pertemanan

Hai kembali lagi di NulisFeeling ini adalah episode kedua setelah yang pertama, haha. Selamat Membaca.

Ilfeel (Ilang Feeling) bukan hanya sekedar kita dalam keadaan situasi yang merasa iyuh dengan situasi tersebut dan keadaan yang kita pandang menjijikan buat kita. Masalahnya adalah kehilangan feel, kehilangan rasa, entah seperti apa kita menjadi biasa saja menyikapi situasi yang sedang terjadi atau sudah merasa sangat kecewa dengan suatu hal.


Hal ini sedang dan lagi-lagi aku hadapi, 20 tahun hidup memberi arti dan pelajaran yang banyak mengenai segala sesuatu yang terjadi, termasuk berteman. Sejak Taman Kanak-kanak aku terbiasa menjadi pribadi yang banyak disukai, anak berumur 4 tahun yang pada masanya hanya tahu menahu tentang bermain, aku sudah lekas menjadi gadis kecil yang sudah sangat fasih berbicara, membaca, menulis bahkan didekte. Aku yang lahir lalu dibentuk menjadi anak yang pintar banyak disukai dan disenangi oleh teman termasuk wali murid. Sanjungan, pujian dan segala ungkapan kekaguman lain sudah terbiasa mengisi hari-hariku sejak kecil.


Lalu beranjak hingga Sekolah Dasar, menjadi murid teladan yang bahkan hampir tidak pernah remidi selama 6 tahun adalah karya terbesar mami saat itu, namun ternyata walau kami masih duduk di sekolah dasar kami punya konsep pertemanan. Aku dijauhi hampir satu kelas saat duduk dibangku kelas 6, hanya beberapa teman yang masih sudi bermain lempar genting dan bergaul denganku. Entah permasalahannya apa, aku sungguh tak paham. Padahal saat itu aku benar-benar ingin tetap menjalin hubungan pertemanan mengingat 6 tahun bukan waktu yang sebentar. Tapi mereka tak pernah paham. Konsep geng-gengan saat SD menjadi tembok besar bagiku. Aku hancur kala itu, aku menangis, aku menjadi sosok yang lemah karena kesendirianku. Hingga akhirnya mami sempat memberi wejangan bahwa aku tidak akan pernah bergaul dengan mereka lagi, anak-anak desa, aku akan bersekolah disekolah bergengsi, masuk sekolah favorit yang orang desa tidak akan pernah ada yang masuk kesana lagi. Tuhan menjawab itu. aku masuk di sekolah favorit, bergengsi, teman-temanku mayoritas anak pejabat, urbanisasi mungkin tepat disebut.


Kukira semua akan selesai, tidak!. Aku mengalami fase konsep pertemanan yang lain, geng-gengan lagi. Ternyata bukan hanya hewan saja yang hidup berkawan, manusiapun juga. Aku sungguh merasa sangat heran bahwa pertemanan yang aku kira akan menjadi sangat mengasyikan mengingat aku tidak lagi berkawan dengan teman desa ternyata hanya hayalan. Aku tidak akan menyebut korban, namun aku merasa Its a bullying. Aku tidak menemukan ketulusan sama sekali, selalu saja ada konotasi lain setiap mereka dekat dengan ku. Hal ini sudah kujelaskan dipostinganku yang bullying, konsep berteman entah aku menyebutnya apa, berteman dengan kriteria orang yang mereka ajak berteman itu setipe membuatku merasa bahwa masa SMP adalah bagian kelam lain setelah masa SDku.


Karena nilaiku jelek, aku masuk di Madrasah. Sekolah yang sama sekali tidak masuk dalam wish listku, termasuk harus menghadapi kemarahan mami karena aku tidak masuk sekolah favorit lagi. Tapi justru ini menjadi tonggak pertamaku, aku mengalami peningkatan di kondisi otak sekaligus mentalku. Aku menemukan teman yang sungguh membuatku merasa nyaman berdekatan dengan mereka. Bahkan pertemanan itu masih saja berlangsung meski kami sudah tidak satu sekolah lagi. Aku punya pengalaman berteman sangat dekat, bersahabat dan berkeluarga dengan para guru. Tapi ternyata itu bukanlah akhir dari semua ini. Sama saja. Memang bukan geng-gengan tapi tak lantas membuat mereka adalah orang yang selalu ada. Kami yang sudah tidak bertemu lagi hanyalah sekedar teman reuni, yang ngobrol dan ketemu kalau direncanakan.


20 tahun, aku masuk perguruan tinggi Islam, UIN. Bagi kebanyakan orang UIN bukanlah sesuatu yang sangat patut menjadi rencana kuliah yang utama. Aku berteman dengan orang-orang yang biasa saja secara pergaulan, kami tidak pernah nongkrong di cafe, atau yang hampir setiap minggu pergi ke mall. Kami merupakan satu dari perkumpulan mahasiswa kurang gaul, yang senang mengkritik namun lebih senang diam dan tak pandai bergaul. Itu sisi lain yang kurasa setelah duduk dibangku kuliah. tapi lagi-lagi, konsep berteman selalu berbeda setiap jenjang. Mungkin bagi kriteria berteman dikampus kami cocok, tapi ternyata urusan kuliah kami bersaing. Entah mengapa aku menjadi sangat benci engan hal tersebut, memang bukan masalah, namun sungguh aku kurang menyukai bahwa kami berteman dan kami kompetitif satu sama lain.


In the end of the story, teman bukanlah temanmu. Kita boleh berekspektasi setinggi mungkin dengan yang namanya teman, namun yang selalu ada hanya kita, diri kita dan Tuhan. Bahkan keluarga yang notabenenya tinggal seatap dengan kita 24 jam belum tentu paham dan selalu ada buat kita. Kita tidak akan pernah menemukan teman yang 100% cocok dengan diri kita, yang ada hanyalah kita yang sering kali salah menerjemahkan sesuatu dengan konsep kita masing-masing. Aku selalu ingin memberikan yang terbaik kepada orang lain agar mereka tahu jika kita ada untuk mereka, namun jatuhnya kita yang berharap mereka akan membalas apa yang kita beri. Tetaplah kuat meskipun kita harus selalu ada untuk diri kita sendiri, berusahalah menjadi yang terbaik menjadi diri kita, agar kita tak usah berharap orang lain akan paham dengan diri kita, selfish sih. Tapi yakinlah, itu lebih sehat daripada kita selalu dipatahkan oleh ekspektasi.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tayang 8 Episode, Ini Review Series: ‘Induk Gajah’