Jadi Orang Kota
Hai. Selamat
membaca lagi sahabat blog ku. Tulis Feeling EPS 3
Pa kabar? Baik
kan ya? Oke
Gak tahu kenapa,
saat nulis ini aku sedang dalam keadaan rindu. Rindu kepada keluarga dirumah
(iyalah jomblo ☹), btw aku anak tunggal. Di rumah tinggal bareng
bapak, ibuk, kakek, biyung (nenek). Kita berlima. Saat ini aku sedang menempuh
pendidikanku di kota orang, Semarang. Bagi sebagian orang atau para perantau
ini tidaklah jauh, ada yang bahkan sampai beda negara. Kalian yang LDR an sama
keluarga pasti tahu rasanya.
Tahun pertama
aku di Semarang adalah tahun-tahun penyesuaian yang berat. Maklum pelaku
urbanisasi, katork banget begitu lho liat kehidupan kota besar. Selain itu,
banyak hal-hal yang berubah. Hidup jauh dari keluarga menjadi pilihanku selepas
MA atau memang karena sudah jalannya sehingga dapat kesempatan pergi dari zona
nyaman bernama rumah.
Culture Shock
Hidup di desa
dan berkabupaten kecil tidak pernah membuatku nyaman menjadi aku yang sekarang
menjadi warga kota. Banyak hal-hal yang berbeda dari kehidupanku di desa, meski
aku juga sempat bergaul dengan anak pejabat, anak guru, anak pengusaha, dan
anak pekerja serabutan dalam satu lingkungan. Tapi tidak lantas membuatku paham
betapa heterogennya makhluk di bumi ini.
Dulu saat hidup
3 tahun bersama anak pejabat dan pengusaha membuatku sedikit berlatih bagaimana
cara hidup mewah ala anak kota. Study tour yang kudu banget se-bis Cuma berisi
1 kelas, nonton di bioskop, jalan ke mall, nongkrong di cafe, pergi ke
tempat-tempat wisata. Bahkan perayaan ulang tahun, yang notabenenya sedari
kecil tidak pernah aku rayakan.
Tapi hidup di
kota besar memanglah berbeda. Pertama, jalanan yang padat, Semarang mungkin
bukanlah kota yang sebesar Jakarta. Namun bisa dikatakan cukup padat, keluar
jalan sebentar macet, lalu lintas yang semrawut dan masih banyak lagi.
Kedua, foya-foya
MCD,KFC, Burger King, Star Bucks, Pizza Hut. Yang bahkan tidak ada di kotaku pun
sekarang berada di depan mata. Mungkin bagi kalian merasa “Alah Cuma MCD Cuma
KFC” tapi sungguh bagiku ini terlalu mewah. Ibuku bukan orang yang ga katrok-katrok
amat kalau soal beginian, setahun sekali kami menyempatkan diri ke JCO untuk
apresiasi. Tapi beliau selalu berpesan, bahwa hidup mewah hanya bisa kita
dapatkan dari apresiasi, kita tidak bisa mengkonsumsinya sering-sering. Selain
karena boros juga karena bukan budaya hidup keluarga kami, begitu katanya.
Ketiga,
panass... wiihh iki reekk sungguh.. panasnya itu potato potato.. aku yang hidup
di pegunungan sungguh kaget dengan keadaan ini semua. Panas cuaca panas hati.
Dua-duanya sama-sama luar biasa. Bahkan jika kemarau sampai mendekati angka 36
derajat selsius.
Yang terakhir,
budaya kejar-kejaran . Gak tahu kenapa bahwa hidup di kota mengharuskan kita
seperti atlet lari namun tidak berlari di sprint atau lapangan. Kita berlari
dalam kehidupan. Berlomba-lomba bangun siang, berlomba-lomba dapat nilai bagus,
gaji tinggi, posisi yang mapan, masa depan yang cemerlang hingga berlomba-lomba
cari muka. Dan yang paling tidak aku pahami, aku paling tak mahir mengejar-ngejar
dosen atau sekedar cari muka. Kami di desa ada sih konsep lari begini, namun
tidak sekeras dan sengoyo ini.
Paling terakhir,
kita tidak punya tetangga. Ini sungguh berbeda sekali dengan kehidupanku di
desa. Kami yang sejak dulu akrab dan berkawan dekat dengan tetangga menjadi
aneh, saat depan rumah, samping rumah tidak saling menyapa. Namun begitulah
memang kota, aku saja yang belum bisa beradaptasi dengan baik.
Hal yang baru
saja saya sadari dari kehidupan kota, orang semakin berlomba-lomba untuk
mendapatkan posisi pertama, ingin banyak dikenal, banyak teman, mendapat posisi
yang baik. Aku tahu bahwa sifat ini tak hanya saya alami di kota, namun sungguh
ini membuatku merasa terheran kenapa orang kota seambisius ini untuk
mendapatkan hati.
Komentar
Posting Komentar